Feeds:
Pos
Komentar

Contoh akidah dari kalangan ormas Muhammadiyah yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH

Firqah MU’ATHTHILAH adalah orang-orang yang MENGINGKARI sifat-sifat Allah.

Sedangkan firqah MUJASSIMAH adalah mereka yang MENGGANTI sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat JISIM yakni sifat makhluk seperti mengganti sifat ISTIWA Allah dengan sifat ISTIQRAR

Dalam tangkapan layar (screenshot) di atas adalah contoh i’tiqod atau akidah dari kalangan ormas Muhammadiyah yang terjerumus mengikuti firqah MUJASSIMAH

Berikut kutipan tulisan yang bersumber dari website resmi pada https://muhammadiyah.or.id/2021/03/benarkah-allah-ada-di-atas-arsy/

***** awal kutipan *****
ayat-ayat tersebut TIDAK BERTENTANGAN antara ayat yang menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy, dengan ayat yang menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sangat dekat dengan kita.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah, No. 3, 2003
***** akhir kutipan *****

Jadi amat disayangkan ada dari kalangan ormas Muhammadiyah yang MEMAHAMI atau MEMAKNAI Istawa yang ARTINYA bersemayam dalam MAKNA DZAHIR seperti ISTIQRAR yang artinya BERADA yakni BERTEMPAT (menetap tinggi) atau “melayang” tinggi bagi mereka yang berakidah BERARAH di arah atas Arsy karena mengingkari menetap dalam pengertian menempel atau bertempat sehingga MEMAKNAI firman Allah “Arrahmanu ‘alal ‘arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) adalah “Allah BERADA di atas Arsy” sebagaimana yang terungkap dari judul tulisan yakni “Benarkah Allah Ada di atas ‘Arsy” dan dalam tulisan menyatakan “Allah adalah JAUH” (di atas Arsy)

Firqah MUJASSIMAH yang memahami firman Allah dan sabda Rasulullah SELALU dengan MAKNA DZAHIR seperti contohnya mereka menterjemahkan firman Allah “Arrahmanu ‘alal ‘arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) ARTINYA adalah “Allah BERADA di atas Arsy” maka PASTI mereka akan menemukan PERTENTANGAN dengan sabda Rasulullah maupun firman Allah yang lainnya seperti dengan firman Allah yang ARTINYA, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“. (Al Baqarah [2]:186).

Jikalau manusia mendapatkan adanya PERTENTANGAN di dalam Al Qur’an maka PASTILAH yang SALAH atau KELIRU adalah pemahamannya.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)

Penyebab firqah MUJASSIMAH terjerumus DURHAKA (‘Aashin) kepada Allah AKIBAT mereka “menjauhkan” Allah dengan mengitsbatkan (menetapkan) arah maupun tempat di atas Arsy adalah KARENA menurut keyakinan mereka yang DEKAT dengan manusia adalah ilmu-Nya.

Jika firqah MUJASSIMAH memaknai ilmu-Nya DEKAT dalam MAKNA atau pengertian ARAH atau TEMPAT maka Allah Ta’ala DEKAT dengan manusia dan DEKAT pula dengan Arsy-Nya karena ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (ilmu) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS An Nisa [4] : 126)

Begitupula dengan firqah MUJASSIMAH mengatakan Ilmu-Nya ada di mana-mana dan sifat Allah tidak terpisah dari Dzat Allah maka TERBUKTI merekalah sebenarnya yang berkeyakinan Allah ada di mana-mana.

Oleh karenanya ungkapan seperti “Allah ada di mana-mana” sebaiknya JANGANLAH DIPAHAMI dengan MAKNA DZAHIR atau secara hissi (materi/fisikal) bahwa Allah Ta’ala berada atau bertempat di mana-mana.

NAMUN maknanya mengikuti FIRMAN Allah dan SUNNAH Rasulullah bahwa kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala serta mengenal Allah (makrifatullah) adalah dengan memperhatikan alam dan isinya atau semua yang terlihat oleh mata yang merupakan tanda-tanda kekuasaanNya atau disebut juga ayat-ayat kauniyah, ayat-ayat yang meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).

Firman Allah Ta’ala yang artinya

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).

SUNNAH Rasulullah untuk mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Ta’ala adalah dengan memikirkan nikmat-nikmat Allah dan Rasulullah MELARANG memikirkan atau menanyakan KEBERADAAN atau EKSISTENSI Allah.

Rasulullah shallallahu wasallam bersabda,

تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Berpikirlah kamu tentang ciptaan-ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan Allah Azza wa Jalla” (HR. Abu Nuaim dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu)

Rasulullah bersabda ”Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat-Nya“

Jadi kalau ada “anak kecil” bertanya “di mana Allah” maka ikutilah sunnah Rasulullah tersebut bahwa untuk meyakini KEBERADAAN Allah adalah dengan mengajak “anak kecil” itu memikirkan nikmat-nikmat yang telah diberikanNya atau dengan memikirkan tanda-tanda (kekuasaan) Allah Ta’ala.

Pertanyaan “di mana Allah” redaksi dari Muawiyah bin Al Hakam secara pribadi yang dapat pula DIPENGARUHI oleh KEADAANNYA yang BARU MASUK ISLAM karena Rasulullah melarang menanyakan keberadaan Allah sebagaimana yang telah disampaikan pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=1156002412441912&id=100040964923547 atau arsip (salinannya) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2024/04/13/tanya-di-mana-allah/

Penyebab lain firqah MUJASSIMAH terjerumus DURHAKA (‘Aashin) kepada Allah AKIBAT mereka “menjauhkan” Allah dengan mengitsbatkan atau menetapkan arah maupun tempat di atas Arsy adalah KARENA mereka memaknai BA’IN artinya TERPISAH dari makhluk dalam makna atau pengertian jarak dan batas

Padahal mereka dapat memeriksa pada kamus bahasa Arab dan cara paling mudah pada zaman NOW (sekarang) adalah menggunakan google translate dan ketik,

بائن من خلقه.

dan artinya adalah “Dibedakan dari ciptaan-Nya”

Mereka dapat pula memeriksa segala kemungkinan makna dari kata بائن (ba’in) contohnya pada https://www.almaany.com/id/dict/ar-id/%D8%A8%D8%A7%D8%A6%D9%86/

Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W 728H) sebelum bertaubat TERJERUMUS mengikuti firqah MUJASSIMAH adalah karena NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR seperti contohnya MEMAKNAI,

المباينة في الحيّز والجهة، ويقابله الاتّصال

Mubayanah (terpisah) dalam makna dzahir dalam pengertian batasan dan arah, ini adalah lawan kata dari ketersambungan fisik.

ونشعر هذه المقابلة على هذه التّقيّد بالمكان إمّا صريحا وهو تجسيم

Kita menyadari ungkapan ini dari keterkaitannya dengan tempat, apabila secara gamblang dinyatakan maka berarti (Ibnu Taimiyah) berakidah tajsîm (meyakini Allah Ta’ala adalah jism).

Syekh Ibnu Khaldun (W. 808 H) menjelaskan bahwa pengertian MUBAYANAH pada hak Allah Ta’ala yang telah disepakati oleh jumhur ulama Salaf maupun Khalaf

وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة

Adapun makna keterpisahan (mubayanah) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk adalah perbedaan dan ketidaksamaan

فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته

Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya.

Jadi makna KETERPISAHAN (MUBAYANAH) bagi Allah Ta’ala dengan makhluk yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah BA’IN artinya TERPISAH dalam makna atau pengertian BERBEDA atau TIDAK SERUPA dari makhluk-makhluk-Nya dari sisi apapun sebagaimana firman Allah Ta’ala “Laisa Kamitslihi Syaiun” (QS. Asy Syura [42] : 11).

Contohnya kalau manusia DEKAT BERSENTUH dan JAUH BERJARAK.

Sedangkan Allah Ta’ala dengan Arsy-Nya dan dengan manusia maupun dengan seluruh makhluk-Nya DEKAT tidak bersentuh dan JAUH tidak berjarak.

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang “Aku” maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat“. (QS. Al Baqarah [2]:186).

Firqah MUJASSIMAH ada pula yang mengatakan bahwa para Malaikat naik menuju Allah yang BERADA di langit atau di atas Arsy.

Al Imam Al Hafizh Suyuthi menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala yang ARTINYA “Naiklah malaikat-malaikat dan Jibril kepada-Nya MAKNANYA adalah

إلى مهبط أمره من السماء

“naik ke tempat turun bagi perintah-Nya di langit” (Tafsir Al-Jalalain, QS Al-Ma’arij [70] :4)

Tafsir Jalalain dapat dibaca pada https://ibnothman.com/quran/surat-al-maarij-dengan-terjemahan-dan-tafsir/1

Tempat turun bagi perintah-Nya bukan berarti tempat bagi Allah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala suci dari arah dan tempat.

Begitupula Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bermunajat di Sidratul Muntaha, Nabi Musa alaihissalam bermohon di lembah Thursina, umat Islam berdoa di Baitullah ataupun umat Islam berdoa di Masjid bukan berarti Allah Ta’ala berada atau bertempat di tempat hambaNya bermunajat atau berdoa.

Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani dalam kitabnya yang berjudul “Wahuwa bi al’ufuq al-a’la” dan telah diterjemahkan oleh penerbit Sahara publisher dengan judul “Semalam bersama Jibril ‘alaihissalam” menjelaskan

***** awal kutipan *****
Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah, seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik.

Meskipun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi Beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba).

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan Nabi Yunus bin Matta alaihissalam, ketika ditelan hiu dan dibawa ke samudera lepas ke dasar laut ADALAH SAMA (tidak ada perbedaan) dalam hal KETIADAAN JARAK Allah Ta’ala dengan ciptaan-Nya, KETIADAAN arah-Nya, KETIADAAN menempati ruang, KETIDAKTERBATASAN-Nya dan KETIDAKTERTANGKAP-Nya.

Menurut suatu pendapat ikan hiu itu membawa Nabi Yunus alaihissalam sejauh perjalanan enam ribu tahun. Hal ini disebutkan oleh al Baghawi dan yang lainnya.

Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam antara Nabi Musa alaihissalam dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maha suci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya.

Ucapan Nabi Musa alaihissalam kepada Rasulullah, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu”.

Jadi kembalinya Rasulullah kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa alaihissalam di bumi.

Apabila anda telah mengetahui hal itu, maka yang dimaksud bahwa Nabi Shallallahu walaihi wasallam naik dan menempuh jarak sejauh ini adalah untuk MENUNJUKKAN KEDUDUKAN Beliau di hadapan penduduk langit dan Beliau adalah makhluk Allah yang paling utama.

Pengertian ini dikuatkan dengan dinaikkannya Beliau diatas Buraq oleh Allah Ta’ala dan dijadikan sebagai PENGHULU para Nabi dan Malaikat, walaupun Allah Mahakuasa untuk mengangkat Beliau tanpa menggunakan Buraq.
***** akhir kutipan *****

Imam Abu Mansur Al-Maturidi ketika ditanya, apakah seseorang MENGANGKAT PANDANGAN ke langit atau berdoa mengangkatkan tangan ke langit menunjukkan bahwa Tuhan berada atau bertempat di (atas) langit atau di atas Arsy.

Imam Abu Mansur Al-Maturidi berkata, “Adapun mengangkat tangan ke langit adalah ibadah, hak Allah menyuruh hamba-Nya dengan apa yang Ia kehendaki, dan mengarahkan mereka kemana yang Ia kehendaki, dan sesungguhnya sangkaan seseorang bahwa MENGANGKAT PANDANGAN ke langit karena Allah di arah itu, sungguh sangkaan itu sama dengan sangkaan seseorang bahwa Allah di dasar bumi karena ia meletakkan muka nya di bumi ketika shalat dan lainnya, dan juga sama seperti sangkaan seseorang bahwa Allah di Timur/ Barat karena ia menghadap ke arah tersebut ketika Shalat, atau Allah di Mekkah karena ia menunaikan haji ke Mekkah” (Kitab At-Tauhid – 75)

Berkata Imam Nawawi: “Dan Dialah Allah yang apabila orang menyeru-Nya, orang itu menghadap ke langit (dengan tangan), sebagaimana orang Shalat menghadap Ka’bah, dan tidaklah demikian itu karena Allah di langit, sebagaimana bahwa sungguh Allah tidak berada di arah Ka’bah, karena sesungguhnya langit itu qiblat orang berdoa sebagaimana bahwa sungguh Ka’bah itu Qiblat orang Shalat” (Syarah Shahih Muslim jilid :5 hal :22)

Firqah MUJASSIMAH tidak HENTI-HENTINYA menuduh umat Islam MENGINGKARI firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5)

Umat Islam tentu TIDAK MENGINGKARI firman Allah Ta’ala, “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5)

NAMUN yang DIINGKARI oleh umat Islam adalah TERJEMAHAN dan PEMAHAMAN firqah MUJASSIMAH.

TIDAK ADA satupun mufassir (ahli tafsir) dan HANYA firqah MUJASSIMAH yang menterjemahkan firman Allah “Arrahmanu ‘alal ‘arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) ARTINYA adalah “Allah BERADA di atas Arsy”

Para mufassir (ahli tafsir) menterjemahkan ISTAWA artinya BERSEMAYAM adalah karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTAWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan).

Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk (JULUS) atau bertempat (ISTIQRAR) dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi:

Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.

Contoh lainnya penggunaan kata BERSEMAYAM dalam tulisan pada https://fimela.com/lifestyle/read/3771673/kecewa-pekerjaan-tak-sepadan-allah-menuntunku-ke-negara-lain

***** awal kutipan *****
Benar saja bahwa Tuhan memang Maha Pemurah selama hambanya ikhlas meminta pada-Nya tanpa membiarkan dendam BERSEMAYAM di hati.
***** akhir kutipan *****

“Dendam bersemayam di hati” menunjukkan penggunaan kata bersemayam dalam makna majaz atau makna kiasan (metaforis) yakni dendam atau hawa nafsu menguasai hati.

Keengganan untuk menahan diri dari penurutan pada hawa nafsu bisa mengakibatkan seseorang DIKUASAI oleh hawa nafsu itu sendiri.

Hal buruk bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan buruk pula tingkah lakunya sebaliknya jika hal baik bersemayam di hati atau menguasai hati maka akan baik pula tingkah lakunya.

Rasulullah bersabda “Ketahuilah kamu di dalam badan manusia terdapat segumpal darah. Apabila baik maka baiklah keseluruhan segala perbuatannya dan apabila buruk maka buruklah keseluruhan tingkah lakunya. Ketahuilah kamu bahwa ia adalah hati”.

Begutupula TIDAK ADA satupun firman Allah maupun sabda Rasulullah yang dapat diterjemahkan artinya Allah BERADA di langit atau di atas Arsy.

Jumhur ulama telah sepakat TERLARANG memaknai fis samaa’i artinya di langit maupun fawqo artinya di atas dalam pengertian arah atau tempat bagi Allah KARENA akan terjerumus DURHAKA (‘aashin) kepada Allah AKIBAT “memenjarakan” dan “menjauhkan” Allah dengan mengitsbatkan atau menetapkan BERBATAS atau ARAH maupun TEMPAT di atas Arsy

Contohnya perkataan-perkataan seperti serahkan kepada “Yang di langit” atau “Yang di atas” TIDAK BOLEH dimaknai dengan MAKNA DZAHIR atau secara HISSI (inderawi / fisikal) dalam pengertian BATASAN, JARAK, ARAH ataupun TEMPAT,

NAMUN sebagai ISYARAT, SIMBOL atau UNGKAPAN untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.

Al-Imam Badruddin ibn Jama’ah berkata

***** awal kutipan *****
“Jika yang dimaksud فوق (fawqo) dalam pengertian tempat dan arah maka sama sekali TIDAK memberikan indikasi kemuliaan dan keistimewaan karena sangat banyak pembantu atau hamba sahaya yang bertempat tinggal di atas atau lebih tinggi dari tempat tuannya.

Apakah itu menunjukan bahwa pembantu dan hamba sahaya tersebut lebih mulia dari majikannya sendiri ?

Jadi makna فوق fawqo bukanlah dalam pengertian tempat karena adanya tempat dan arah bagi Allah adalah sesuatu yang batil, maka pemaknaan fawqo pada hak Allah pasti dalam pengertian ketinggian derajat dan keagungan-Nya, Maha Menguasai dan Maha Menundukkan para hambaNya seperti dalam firman Allah Ta’ala, “wa huwal qaahiru fawqo ‘ibaadihi” (QS. Al An’am [6] : 18)
***** akhir kutipan *****

Begitupula Imam al-Hafidz Ibnu Hajar telah menerangkan dalam Kitab at-Tauhid;

***** awal kutipan *****
“Al Kirmani berkata, مَنْ فِى السَّمَاءِ
(man fis samaa’i) makna dzâhir- nya jelas bukan yang dimaksudkan, sebab Allah Maha Suci dari bertempat di sebuah tempat, akan tetapi, karena SISI ATAS adalah SISI TERMULIA dibanding sisi-sisi lainnya, maka ia disandarkan kepada-Nya sebagai ISYARAT (ungkapan atau simbol) akan ketinggian dalam arti kemuliaan atau keagungan Dzat dan sifat-Nya.“
***** akhir kutipan *****

Berikut kutipan penjelasan pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) ketika mencontohkan KEKELIRUAN firqah MUJASSIMAH dalam memahami firman Allah

ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ

aamintum man fis samaa’i (QS Al Mulk [67]:16)

***** awal kutipan *****
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini BUKAN dalam MAKNA DZAHIRNYA karena dasar kata fis sama’i dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan SESUATU yang ”BERADA di DALAM sebuah tempat dengan DILIPUTI oleh tempat itu sendiri”, padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun.

Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit.

Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan KEAGUNGAN dan KEMULIAAN Allah.
***** akhir kutipan ****

Jadi arti sebenarnya fis sama’i adalah “di langit” dalam pengertian diliputi atau dinaungi oleh langit dan BUKANLAH “di (atas) langit”. Sedangkan Arsy di atas langit.

Salah satu ciri khas firqah MUJASSIMAH adalah mereka menyisipkan kata (berada) dan (atas) ketika mereka menterjemahkan fis sama’i arti sebenarnya “di langit” menjadi (berada) di (atas) langit

Oleh karenanya terhadap firman Allah surat Al Mulk [67] ayat 16, para mufassir (ahli tafsir) telah sepakat menyisipkan kata “(BERKUASA)” agar tidak dipahami dan disisipkan kata “(BERADA) ” atau “(BERTEMPAT)” sehingga menafsirkannya menjadi,

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (BERKUASA) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?

Berikut kutipan contoh penjelasan Imam Suyuthi dalam tafsir Jalalain ketika menafsirkan surat Al Mulk ayat 16 dari https://ibnothman.com/quran/surat-al-mulk-dengan-terjemahan-dan-tafsir/2

***** awal kutipan *****
a-amintum, (Apakah kalian merasa aman) dapat dibaca secara tahqiq dan dapat pula dibaca secara tashil

man fiis samaa-i, (terhadap kekuasaan Allah yang di langit) yakni pengaruh dan kekuasaan-Nya yang di langit
***** akhir kutipan *****

JUMHUR ulama telah sepakat MELARANG mengikuti firqah MUJASSIMAH yang memaknai ISTIWA Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat-sifat JISIM contohnya JULUS artinya DUDUK atau ISTIQRAR artinya BERADA yakni MENETAP TINGGI dan bahkan ada yang mengartikannya “MELAYANG” TINGGI di atas Arsy karena mereka mengingkari MENEMPEL di atas Arsy

Contoh Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah hal 102 MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM ISTIQRAR.

وأنه مستو على عرشه بلا كيف ولا استقرار

Dan Sesungguhnya Dia Istiwa atas Arasy-Nya BILA KAIFA wa LA ISTIQRAR.

Istiwa Alllah atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA maknanya tanpa sifat-sifat JISIM yakni tanpa sifat-sifat makhluk seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, BERBATAS (hadd) dengan Arsy.

Sedangkan LA STIQRAR bukan larangan membahas atau menanyakan makna ISTIQRAR namun LA ISTIQRAR artinya TANPA ISTIQRAR yakni TANPA menetap atau melayang tinggi di atas Arsy.

Begitupula ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin MELARANG memaknai Istiwa Allah dengan MAKNA DZAHIR seperti sifat JISIM ISTIQRAR dengan kalimat pertanyaan,

الاستواء على الشيء في اللغة العربية يأتي بمعنى الاستقرار والجلوس

Istiwa di atas sesuatu dalam bahasa Arab bermakna ISTIQRAR (menetap / melayang tinggi) dan JULUS (duduk).

Ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin bertanya

لكن هل يصح أن نثبته في استواء الله على العرش ؟

Tetapi apakah boleh kita menetapkan makna tersebut pada istiwa Allah atas Arsy?

Ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin memilih MEMAKNAI Istiwa dengan MAHA TINGGI.

ولكن نقول : معنى الاستواء : العلو ، هذا أمر لاشك فيه

Tapi kita katakan makna ISTIWA adalah MAHA TINGGI. Inilah yang tidak diragukan (Liqa’ bab al Maftuh pertanyaan nomor 450)

Begitupula Istawa Allah LA ISTIQRAR artinya TANPA Istiqrar yakni TANPA menetap atau melayang tinggi di atas Arsy maka terlarang pula memaknai Maha Tinggi dalam pegertian arah atau tempat sebagaimana contohnya yang disampaikan oleh Al Imam al-Qurthubi (W. 671H) dalam kitab tafsirnya al-Jami Li Ahkam al-Qur’an atau yang lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Qurthubi ketika menafsirkan firnan Allah Ta’ala surat Al Baqarah ayat 255

***** awal kutipan *****
ﻭ” ﺍﻟﻌﻠﻲّ ” ﻳﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻤﻨﺰﻟﺔ ﻻ ﻋﻠﻮ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ، ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻨﺰﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﻴﺰ

“al-‘Aliyy” adalah dalam pengertian ketinggian derajat dan kedudukan bukan dalam ketinggian tempat, karena Allah Maha Suci dari bertempat”

وحكى الطبري عن قوم أنهم قالوا: هو العلي عن خلقه بارتفاع مكانه عن أماكن خلقه

Ath Thabari (W. 310H) mengisahkan dari satu kaum bahwa mereka berkata: “Dia Allah Maha Tinggi atas hamba ciptaan-Nya dengan ketinggian tempat-Nya dari tempat makhluk-Nya.”

قال ابن عطية: وهذا قول جهلة مجسمين

Ibnu Athiyah (W. 541H) berkata: “Ini adalah pendapat kaum JAHIL (tidak berilmu) yakni MUJASSIMAH
***** akhir kutipan *****

Tafsirnya dapat dibaca pada https://surahquran.com/tafsir-alqurtubi/42.html

Berikut kutipan contoh pendapat atau pemahaman Salafus Sholeh terhadap firman Allah , “Arrahmanu ‘alal’ arsy Istawa” (QS Thaha [20] : 5) sebagaimana yang disampaikan oleh Al Hafizh Ad Dzahabi dalam kitab Mukhtashar Al Uluw.

***** awal kutipan *****
Sufyan Ats Tsauriy (W. 191H) mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,

الرحمن على العرش استوى كيف استوى

“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?”

Robi’ah menjawab,

الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق

“Istiwa’ itu telah diketahui (disebutkan dalam Al Qur’an), Al Kaifu ghairu maquul (Al Kaifa yakni sifat makhluk atau benda tidak masuk akal ditujukan bagi istiwa Allah) Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (dengan MEMBIARKAN sebagaimana teks atau lafadznya).”
***** akhir kutipan *****

Contoh penjelasan dari Salafus Sholeh seperti dari Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah?

فكلهم قالوا لي أمروها كما جاءت بلا تفسير

Maka semuanya berkata dan memerintahkan kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang TANPA TAFSIR”

Begitupula Sufyan bin Uyainah (W. 198H) berkata:

ما وصف الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه فقراءته تفسيره،

“Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan (teks atau lafadz) tersebut adalah tafsirannya.

ليس لأحد أن يفسره بالعربية ولا بالفارسية

Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al Imam Baihaqi kitab Al Asma’ wa ash Shifat 2:117)

Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala

Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.

Jadi, Salafus Sholeh dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat dengan BANYAK MAKNA) terkait sifat-sifat Allah pada umumnya (mayoritas) memilih ITSBAT LAFADZ TANPA TAFSIR yakni mereka membenarkan dan mengitsbatkan (menetapkan) dengan MEMBIARKAN sebagaimana KABAR yang DATANG atau sebagaimana TEKS atau LAFADZ yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dan BUKAN berdasarkan MAKNANYA secara bahasa artinya mereka MEMALINGKAN teks atau lafadznya dari makna dzahir maupun makna majaz secara keseluruhan atau global (IJMALI) dan lalu TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAKWIL IJMALI.

Sedangkan para ulama khalaf (kemudian), dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat JISIM yakni sifat makhluk atau benda MAKA mereka menakwilkan atau memaknai ayat mutasyabihat (ayat dengan banyak makna) tersebut dengan makna yang patut (layak) bagi Allah Ta’ala yang SESUAI dengan kaidah-kaidah bahasa Arab atau tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3) yang disebut dengan TAKWIL TAFSHILI.

Jadi TAFWIDH disebut juga TAKWIL IJMALI, sedangkan TAKWIL seperti contohnya TAKWIL dengan MAKNA MAJAZ disebut TAKWIL TAFSHILI.

Kesimpulannya TAFWIDH dan TAKWIL itu hanya sebuah PILIHAN karena sama-sama MENGINGKARI atau MEMALINGKAN dari MAKNA DZAHIRNYA.

Firqah MUJASSIMAH bukanlah ahli tauhid karena mereka menyembah sesuatu yang BERJISIM seperti contohnya mereka yang terpecah dua kelompok yakni sesuatu yang berarah atau bertempat

Firqah MUJASSIMAH terpecah menjadi DUA KELOMPOK yakni

KELOMPOK PERTAMA berkeyakinan Tuhan BERTEMPAT akibat mereka MENGGANTI sifat ISTIWA Allah dengan memaknainya dengan MAKNA DZAHIR seperti ISTIQRAR artinya MENETAP TINGGI di atas Arsy dan KELOMPOK KEDUA mengartikannya “MELAYANG” TINGGI di atas Arsy karena menurut mereka pengertian MENETAP bukanlah MENEMPEL di alam yakni di Arsy sehingga berkeyakinan Tuhan BERARAH di arah atas Arsy

Berikut kutipan contoh pengingkaran KELOMPOK KEDUA terhadap KELOMPOK PERTAMA.

***** awal kutipan *****
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan *****

Mereka berkeyakinan Tuhan BERARAH yakni BERADA DI ARAH ATAS dan di atas Arsy ada yang namanya “BUKAN TEMPAT” dan yang lainnya menamakannya dengan istilah yang TIDAK PERNAH difirmankan Allah dan disabdakan oleh Rasulullah ataupun dikatakan oleh ulama Salaf yakni MAKAN ‘ADAMI dan kalau diartikan adalah “TEMPAT KETIADAAN”

Para ulama menjelaskan bahwa mustahil arah berlaku bagi Allah Ta’ala karena seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya

Contohnya pembesar mazhab Hambali, Al Imam Al Hafizh Ibn al Jawzi Al Hanbali (W. 597H) yang MEMBERSIHKAN fitnah-fitnah terhadap Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H) dengan kitabnya yang berjudul Daf’u syubah at-tasybih bi-akaffi at-tanzih pada hal 135 menuturkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:

كان أحمدُ لاَ يقولُ بالجهةِ للباري لأن الجهات تخلى عما سواها

Imam Ahmad tak mengatakan adanya arah bagi Allah sebab seluruh arah meniscayakan KEKOSONGAN dari arah selainnya (seperti kekosongan pada arah berlawanannya).”

Jadi jika mengitsbatkan (menetapkan) Allah Ta’ala BERBATAS dan BERADA di arah atas Arsy maka berarti KEKOSONGAN atau TIDAK ADA Allah Ta’ala di selain arah atas Arsy seperti arah berlawanannya.

Begitupula IRONISNYA firqah MUJASSIMAH seolah-olah melarang atau mengharamkan ilmu kalam namun mereka justru TERPENGARUH ilmu kalam yakni Filsafat Materialisme

FILSAFAT MATERIALISME adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam KEBENDAAN semata. Mereka MENGINGKARI segala SESUATU yang TIDAK DAPAT dicapai atau di luar alam indra.

Sedangkan FIRQAH MUJASSIMAH adalah mereka yang mengatakan dan meyakini bahwa segala SESUATU di luar alam indra yakni segala SESUATU yang TIDAK DAPAT dinisbahkan ke suatu ARAH atau TEMPAT maka sama saja TIDAK ADA.

Contohnya ulama firqah Wahabi, Ibnu Utsaimin berkata

إذا نفيت هذه الجهات عن الله تعالی لزم أن يكون معدوما

Apabila engkau MENIADAKAN ARAH-ARAH ini dari Allah Ta’ala. Maka mengharuskan ALLAH itu TIDAK ADA. (Majmu’ Fatawa, Jilid 1, Hal.131)

Begitupula KAIDAH KELIRU yang dibuat oleh ulama rujukan mereka, Ibnu Abdil Barr (W. 463 H) ketika membahas tentang Allah, Beliau berkata dalam at-Tamhid:

وقد قال المسلمون وكلُّ ذي عقلٍ: إنه لا يُعقَلُ كائنٌ لا في مكانٍ منا، وما ليس في مكانٍ، فهو عدمٌ

“Kaum muslimin dan setiap orang berakal berkata: Sesungguhnya TIDAK dapat DINALAR adanya SESUATU yang TAK BERTEMPAT dari perspektif kita. Dan, apa yang TAK BERTEMPAT maka ia TIDAK ADA.”

Jikalau mereka mengatakan bahwa SESUATU yang TAK BERTEMPAT itu TIDAK ADA maka sama artinya mereka mengatakan bahwa dulu SEBELUM ADA tempat asalnya Allah TIDAK ADA juga.

Begitupula JIKA mereka meyakini SESUATU yang tidak berarah atau tidak bertempat itu TIDAK ADA maka menunjukkan KHAYALI mereka menyembah JISIM yakni SESUATU yang BERARAH atau BERTEMPAT di atas Arsy.

Jadi pada kenyataannya LISAN firqah MUJASSIMAH mengatakan menyembah Allah namun KHAYALI mereka menyembah JISIM yakni SESUATU yang BERARAH atau BERTEMPAT di atas Arsy

Hujjatul Islam Imam Al Ghazali dalam Misykat Al Anwar menjelaskan tentang firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah) AKIBAT mereka TERHIJAB oleh cahaya yang bercampur dengan KEGELAPAN KHAYALI.

***** awal kutipan *****
Sebab, kata mereka sesuatu yang TIDAK DISANDARKAN ke SUATU ARAH dan tidak dapat dilukiskan sebagai “di luar alam dunia” atau “di dalamnya”, menurut mereka, sama saja dengan “TIDAK ADA” karena tidak dapat DIKHAYALKAN.
***** akhir kutipan *****

Jadi JELASLAH firqah Mujassimah BUKANLAH ahli tauhid karena 11 – 12 atau BEDA TIPIS antara firqah MUJASSIMAH yakni orang yang mengkhayalkan atau MEYAKINI yang disembahnya berJISIM dengan orang yang menyembah BERHALA.

Letak perbedaannya adalah jikalau kaum musyrikin berhala DIBUATKAN sedangkan firqah MUJASSIMAH berhala DIKHAYALKAN dalam KEYAKINAN mereka.

Negeri +62 atau NUSANTARA tidak baik baik saja NAMUN darurat akidah Wahabi Al Mujassimah

Contohnya ustadz firqah Wahabi, Firanda Andirja mengatakan bahwa “semakin ke tempat tinggi semakin dekat kepada Allah” sebagaimana contoh kabar pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=320623200652717&id=100081151183022

atau dapat disaksikan dalam video pada,
https://youtube.com/watch?v=5ou01jKqZ6A

Mereka mengaku-ngaku atau merasa mengikuti Salaf atau Manhaj Salaf dan melabelkan sebagai Salafi NAMUN mereka mengikuti ulama Salaf tokoh MUJASSIMAH seperti Ad Darimi yang mengatakan semakin tinggi semakin dekat kepada Allah

Contohnya mereka mengatakan,

***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
***** akhir kutipan *****

Ad Darimi yang dimaksud BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (W. 255H)

NAMUN tokoh MUJASSIMAH Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (W. 280 H) yang berkata

***** awal kutipan *****
Uluw Allah adalah Allah berada di atas. Artinya, yang naik ke atas LEBIH DEKAT JARAKNYA kepada Allah. Yang berada di langit lebih dekat kepada Allah daripada yang di bumi. Yang berada di langit ketujuh lebih dekat kepada Allah daripada yang berada di langit bawahnya (Syarah kitab at Tauhid min Shahih al Bukhari juz 2 hal 461)
***** akhir kutipan ****

Firqah MUJASSIMAH “membela” Ad Darimi dan mereka mengatakan

***** awal kutipan *****
Mana ulama Salaf (yang wafat sebelum 300 hijriah) yang mengatakan Ad Darimi Mujassimah ?

Saya tantang MUBAHALAH KALIAN SEMUA
***** akhir kutipan *****

Ulama setelah 300 Hijriah mengetahui Ad Darimi sebagai TOKOH MUJASSIMAH setelah kitab aqidahnya dipergunakan dan salah satu diantara yang paling direkomendasikan untuk diikuti oleh ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibn Taimiyah (W 728H) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyah (W 751 H) sebagaimana contoh kabar pada https://fitrahislami.wordpress.com/2020/02/12/tokoh-yang-menjadi-idola-kaum-mujasimah-musyabihah/

Contohnya Utsman bin Sa’id Ad-Darimi mengatakan “Dan jika Allah benar-benar berkehendak bertempat di atas sayap seekor nyamuk maka dengan sifat kuasa-Nya dan keagungan sifat ketuhanan-Nya Dia mampu untuk melakukan itu, dengan demikian maka terlebih lagi untuk menetap di atas arsy” . (Kitab An-Naqdl, h. 85).

Sedangkan ulama rujukan bagi firqah Wahabi, Ibnu Taimiyah (W. 728H) dalam kitabnya, At-Tasis fi Al-Raddi `ala Asas At-Taqdis Juz 1 Hal. 568 MENYEPAKATI perkataan Ad Darimi dengan mengatakan,

قَدْ شَاءَ لا سْتَقَرَّ عَلَى ظَهْرِ بَعُوْضَةٍ فَاسْتقَلَّتْ بِهِ بِقُدْرَتِهِ وَلَطْفِ رُبُوْبِيَّتِهِ

“Jikalau Allah berkehendak maka pastilah Dia akan menempat di atas punggung seekor nyamuk dan nyamuk itu akan kuat mengangkat terbang membawa-Nya dengan kekuasaan-Nya dan pengaturan-Nya yang menjadikan nyamuk seperti itu”

Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (W 751 H) murid dari Ibnu Taimiyah sebagaimana yang dikabarkan
pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=5931598453547082&id=100000909598063

***** awal kutipan *****
Ibn Qayyim mengatakan semua yang dikatakan Ibn Taimiyah bahkan dengan lebih lancang dari Ibn Taimiyah sendiri..

Dia sangat kagum dengan perkataan Ibn Taimiyah: “Allah Mampu untuk berada dengan dzat-Nya di atas sayap nyamuk kalau Dia Menginginkan”.

Dapat dimana kata “dengan dzat-Nya?” Tidak ada dalilnya di al-Qur’an…

Ibn Qayyim menyampaikan apa yang disampaikan Ibn Taimiyah tapi dengan lebih lancang misalnya mengatakan bahwa “Allah itu jism yang punya berat sehingga ketika duduk membuat ‘arsy goyang”..
***** akhir kutipan *****

Oleh karenanya para ulama terdahulu telah MENGKAFIRKAN ulama rujukan bagi firqah Wahabi, yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang SEBELUM bertaubat menetapkan sifat-sifat JISIM dan anggota-anggota badan dalam pengertian DITETAPKAN KUFUR dalam perkara I’TIQOD atau akidah BUKAN dalam pengertian MEMBATALKAN keislamannya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab berjudul Hasyiyah Al ‘Allamah Ibn Hajar Al Haitami ‘Ala Syarh Al Idhah fi Manasik Al Hajj,

***** awal kutipan *****
ووقوعه في حق رسول الله ﷺ ليس يعجب فإنه وقع فى حق الله سبحانه وتعالى عما يقول الظالمون والجاحدون علواً كبيراً فنسب إليه العظائم كقوله إن الله تعالى جهة ويداً ورجلاً وعيناً وغير ذلك من القبائح الشنيعة .

PENGHINAAN Ibnu Taimiyyah terhadap Rasulullah ini bukan sesuatu yang aneh (pengingkarannya terhadap kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah) oleh karena terhadap Allah saja dia melakukan PENGHINAAN dengan MENETAPKAN ARAH, tangan, kaki, mata dan lain sebagainya dari keburuk-keburukan yang sangat keji.

ولقد كفره كثير من العلماء عامله الله بعدله وخذل متبعيه الذين نصروا ما افتراه على الشريعة الغراء

Ibnu Taimiyyah ini telah DIKAFIRKAN (ditetapkan kufur dalam perkara i’tiqod) oleh banyak ulama – semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilan-Nya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya yaitu mereka yang (masih) membela segala yang dipalsukan oleh Ibnu Taimiyyah atas syari’at yang suci ini.
***** akhir kutipan *****

Begitupula para ulama telah melarang menjuluki ulama rujukan bagi firqah Wahabi yakni Ibnu Taimiyah (W. 728H) sebagai Syaikhul Islam BAGI yang telah mengetahui perkataan atau pendapat KUFURNYA.

Contohnya Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H) mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.

Al Hafidz, Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikatakan “membela” ke-Syaikhul Islam-an ulama rujukan bagi firqah Wahabi mengingatkan contoh kekeliruan Ibnu Taimiyah (W. 728H) yang mengatakan Istiwa Allah dengan dzat-Nya karena sama artinya Allah BERBATAS dengan Arsy sebagaimana yang disampaikan dalam kitab Al-Durar Al-Kaminah Fi Aʻyan Al-Mi’ah Al-Thaminah, jilid 1 halaman 155.

***** awal kutipan *****
إن اليد والقدم والساق والوجه صفات حقيقية لله،

Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya tangan, telapak kaki, betis dan wajah adalah SIFAT HAKIKAT bagi Allah,

وأنه مستو على العرش بذاته

dan sesungguhnya Allah BERISTIWA di atas Arsy DENGAN Dzat-Nya.

فقيل له: يلزم من ذلك التحيز والانقسام.

Maka ketika dipersoalkan, hal itu akan melazimkan (SAMA ARTINYA) Allah memiliki BATASAN dan BAGIAN,

فالذم بأنه يقول بتحيز في ذات الله

Maka yang DICELA adalah bahwa Ibnu Taimiyah mengatakan BATASAN bagi Dzat Allah.
***** akhir kutipan *****

Ibnu Taimiyah dipenjara oleh pemerintahan Sultan Muhammad bin Qolaawuun di salah satu menara Benteng Damascus di Syria dan diputuskan bahwa pemahaman Ibnu Taimiyah adalah SESAT dan MENYESATKAN berdasarkan fatwa Qodhi empat mazhab yaitu :

  1. Mufti Hanafi Qodhi Muhammad bin Hariri Al-Anshori rhm.
  2. Mufti Maliki Qodhi Muhammad bin Abi B4k4r rhm.
  3. Mufti Syafi’i Qodhi Muhammad bin Ibrahim rhm.
  4. Mufti Hanbali Qodhi Ahmad bin Umar Al-Maqdisi rhm.

Bahkan Imam Taqiyuddin As-Subki dalam kitab “Fataawaa As-Subki” juz 2 halaman 210 menegaskan :

“وحبس بإحماع العلماء وولاة الأمور”.

“Dia (Ibnu Taimiyyah) dipenjara dengan Ijma’ Ulama dan Umara.”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830