Feeds:
Pos
Komentar

Rumah seperti kuburan


Larangan “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan” BERKAITAN dengan AMAL PERBUATAN di rumah BUKAN amal perbuatan di kuburan

Orang-orang yang merasa atau mengaku-ngaku mengikuti manhaj Salaf dan menisbatkan sebagai SALAFI dan mereka mengaku pula dari kalangan MODERN sehingga dijuluki SALAFI KONTEMPORER (Salaf yang Khalaf)

NAMUN pada kenyataannya mereka mengikuti dan MENG-COPAS dari tulisan orang-orang yang SECARA TERANG-TERANGAN melanggar LARANGAN Rasululkah yakni mereka memahami atau yang diistilahkan mereka “kembali” kepada Al Qur’an dan Hadits secara shahafi (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri dan KEKELIRUAN terjadi karena mereka memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna majaz (makna kiasan atau metaforis)

Rasulullah bersabda “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad).

Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki dalam Hasyiyahnya atas Jalalain jilid 3 halaman 9 mengingatkan,

الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر

Mengamalkan secara TEKSTUAL Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.

Jadi jika mengamalkan Al Qur’an dan Hadits secara TEKSTUAL yakni mengamalkan berdasarkan pemahaman SELALU dengan MAKNA DZAHIR maka akan terjerumus KEKUFURAN.

Pemahaman SELALU dengan MAKNA DZAHIR akan berakibat terjerumus dua macam KEKUFURAN yakni,

  1. KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD (akidah) seperti contohnya firqah MUJASSIMAH bukanlah ahli tauhid karena mereka menyembah sesuatu yang BERJISIM seperti contohnya mereka yang terpecah dua kelompok yakni sesuatu yang berarah atau bertempat sebagaimana yang telah disampaikan pada https://facebook.com/story.php?id=100040964923547&story_fbid=1195003415208478 atau arsipnya (salinannya) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2024/04/24/bukan-ahli-tauhid/
  2. KEKUFURAN dalam perkara FIQIH seperti contohnya mereka MELARANG (mengharamkan) yang TIDAK DILARANG (tidak diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah atau SEBALIKNYA mereka MEWAJIBKAN yang tidak DIWAJIBKAN oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah.

Contohnya orang-orang yang mewajibkan berjenggot dan melarang cukur jenggot karena mereka keliru memahami sabda Rasulullah yakni “Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku” sebagaimana yang telah disampaikan pada https://facebook.com/story.php?story_fbid=1038429504199204&id=100040964923547 atau arsipnya (salinannya) pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/2024/04/25/membenci-sunnahku/

Contoh dalam tangkapan layar (screen shot) di atas, firqah MUJASSIMAH akibat mereka memahami SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan MENOLAK makna majaz sehingga mereka TERJERUMUS BERDUSTA atas nama Rasulullah dengan menyebarluaskan FITNAH seolah-olah Rasulullah MELARANG berdoa kepada Allah di sisi kuburan mengawalinya BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH (HADIAH) BACAAN Al Qur’an sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala karena mereka KELIRU memahami sabda Rasulullah

لَا تَجْعَلُوْا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِيْ تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibaca surat al-Baqarah di dalamnya.”

Larangan “Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan” BERKAITAN dengan AMAL PERBUATAN di rumah BUKAN amal perbuatan di kuburan.

Begitupula kata kuburan dalam hadits tersebut TIDAK terkait dengan kata KUBURAN dalam MAKNA DZAHIR yakni tempat menguburkan jenazah seseorang NAMUN dipahami dalam MAKNA MAJAZ (makna kiasan) yakni SEPI.

Jadi makna sabda Rasulullah tersebut adalah “Janganlah rumah itu SEPI dari AMAL PERBUATAN seperti membaca Al Qur’an, dzikrullah ataupun sholat sunnah dan lain lain”

Oleh karenanya kalau kita punya rumah janganlah sepi atau sunyi seperti kuburan dan jadikanlah rumah itu seperti layaknya rumah bagi orang yang masih hidup dan mengisinya dengan bacaan kitab suci Al Quranul Karim, Dzikir kepada Allah, membaca sholawat Nabi, sholat dan pekerjaan yang bermanfaat lainnya.

Ada pula mereka yang BERDUSTA atas nama Rasulullah dengan menyebarluaskan fitnah seolah-olah Rasulullah MELARANG berdoa kepada Allah Ta’ala mengawalinya BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH (HADIAH) BACAAN Al Qur’an sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala AKIBAT mereka KELIRU memahami sabda Rasulullah

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka menjadikan kubur-kubur Nabi-Nabi mereka sebagai masjid-masjid”.

Kata masjid dalam hadits tersebut tidak terkait dengan kata masjid dalam MAKNA DZAHIR yakni tempat sholat atau tempat ibadah karena hadits tersebut berkaitan dengan laknat Allah terhadap kaum Yahudi dan Nasrani.

Oleh karenanya kata masjid dikembalikan kepada asal katanya yakni sajada yang artinya tempat sujud.

Jadi larangan tersebut seharusnya dipahami dalam makna majaz (makna kiasan) maksudnya “janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai kiblat” atau “janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai berhala”.

KESIMPULANNYA makna larangan tersebut adalah “Janganlah kalian menyembah kuburan”

Begitupula tidak ada masalah sholat di sisi kuburan selama menghadap kiblat.

Sedangkan larangan melakukan shalat di kuburan adalah khusus untuk kuburan-kuburan yang terbongkar, karena di sekitarnya terdapat najis”.

Contohnya Imam al-Baidhawi berkata, “Ketika orang-orang Yahudi dan Nashrani bersujud kepada kuburan para nabi mereka untuk mengagungkan mereka dan menjadikannya sebagai kiblat, dan mereka menghadap ke arahnya ketika shalat dan menjadikannya sebagai berhala, maka Allah melaknat mereka dan melarang orang-orang muslim untuk melakukan hal itu. Adapun orang yang membangun masjid di samping makam orang saleh atau shalat di kuburannya dengan maksud untuk mengenangnya dan agar pengaruh dari ibadahnya sampai kepada pemilik kuburan itu, bukan untuk mengagungkannya dan tidak menjadikannya sebagai kiblat, maka itu tidak apa-apa. Tidakkah Anda melihat kuburan Ismail di Masjidil Haram dan Hathim (Hijir Isma’il). Dan Masjidil Haram itu sendiri merupakan tempat shalat terbaik bagi orang-orang muslim. Sedangkan larangan melakukan shalat di kuburan adalah khusus untuk kuburan-kuburan yang terbongkar, karena di sekitarnya terdapat najis”.

Berikut kutipan penjelasan dari Dar al-Ifta al-Misriyyah (lembaga fatwa Mesir), fatwa no 81 tahun 2006

***** awal kutipan *****
Dalam bahasa Arab, kata masajid meruupakan bentuk plural dari kata masjid. Dan kata masjid dalam bahasa Arab merupakan mashdar mimi yang bisa menunjukkan arti waktu, tempat atau tindakan. Sehingga, makna “menjadikan kuburan sebagai masajid” adalah bersujud ke arahnya untuk mengagungkan dan menyembahnya, sebagaimana perbuatan orang-orang musyrik yang bersujud kepada berhala-berhala dan patung-patung mereka.

Penafsiran ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat shahih yang lain dari hadits ini dalam kitab Thabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi shallallahu alaihi wasallam., bahwa Beliau bersabda, “Ya Allah, janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat satu kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”.

Maka kalimat, “Allah melaknat satu kaum…” adalah penjelas bagi makna menjadikan kuburan sebagai berhala. Jadi makna hadits di atas adalah, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disujudi dan disembah, sebagaimana satu kaum yang bersujud kepada kubur para nabi mereka.”
***** akhir kutipan *****

Kalau mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA melarang (mengharamkan) berdoa kepada Allah Ta’ala mengawalinya BERTAWASUL dengan AMAL KEBAIKAN yakni SEDEKAH (HADIAH) BACAAN Al Qur’an sebelum DOA INTI dipanjatkan kepada Allah Ta’ala maka mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN dan DURHAKA kepada Rasulullah yakni secara tidak langsung mereka melarang (mengharamkan) dan menghardik Rasulullah yang melaksanakan sholat dan berdoa kepada Allah di sisi kuburan dan tentunya membaca Al Qur’an yakni surat Al Fatihah

Telah menceritakan kepada kami Muhammad telah mengabarkan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Abu Ishaq Asy-Syaibaniy dari Asy-Sya’biy dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma berkata: Bila ada orang yang meninggal dunia biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melayatnya. Suatu hari ada seorang yang meninggal dunia di malam hari kemudian dikuburkan malam itu juga. Keesokan paginya orang-orang memberitahu Beliau. Maka Beliau bersabda: Mengapa kalian tidak memberi tahu aku? Mereka menjawab: Kejadiannya malam hari, kami khawatir memberatkan anda. Maka kemudian Beliau mendatangi kuburan orang itu lalu mengerjakan shalat untuknya. (HR Bukhari 1170 atau Fathul Bari 1247)

Imam Ahmad semula mengingkarinya karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’

Al-Hafizh Ibnu Hajar al Baihaqi setelah mentakhrijnya berkata,

أخريجه أبو بكر الخلال وأخريجه من رواية أبى موسى الحداد وكان صدوقا قال صلينا مع أحمد على جنازة فلما فرغ من ذفنه حبس رجل ضرير يقرأ عند القبر فقال له أحمد يا هذا إن القراءة عند القبر بدعة فلما خرجنا قال له محمد بن قدامة يا أبا عبد الله ما تقول فى مبشر بن إسماعيل قال ثقة قال كتبت عنه شيئا قال نعم قال إنه حدثنى عن عبد الرحمن بن اللجلاج عن أبيه أنه أوصى إذا دفن أن يقرؤا عند قبره فاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصى بذلك قال فقال أحمد للرجل فليقرأ. اه

Abu Bakar al-Khallal telah mentakhrijnya dan ia juga mentakhrijnya dari Abu Musa al-Haddad sedangkan ia orang yang sangat jujur. Ia berkata : kami shalat jenazah bersama bersama Ahmad, maka tatkala telah selesai pemakamannya duduklah seorang laki-laki buta yang membaca al-Qur’an disamping qubur, maka Ahmad berkata kepadanya ; “hei apa ini, sungguh membaca al-Qur’an disamping qubur adalah bid’ah”. Maka tatkala kami telah keluar, berkata Ibnu Qudamah kepada Ahmad : “wahai Abu Abdillah, apa komentarmu tentang Mubasysyir bin Isma’il ? “, Ahmad berkata : tsiqah, Ibnu Qudamah berkata : engkau menulis sesuatu darinya ?”, Ahmad berkata : Iya. Ibnu Qudamah berkata : sesungguhnya ia telah menceritakan kepadaku dari Abdur Rahman bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berpesan apabila dimakamkan agar dibacakan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya disamping kuburnya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar berwasiat dengan hal itu, Maka Ahmad berkata kepada laki-laki itu “lanjutkanlah bacaaanmu”.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari Imam Ahmad:

وقال الخلال أيضا حدثنا أبو بكر المروزي سمعت أحمد بن محمد بن حنبل يقول

Al-Khallal (W. 311H) juga berkata: Abu Bakar Al-Maruzi (W. 275H) menceritakan kepada kami: Saya mendengar Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (W. 241H) berkata

إذا دخلتم المقابر فاقرأوا بفاتحة الكتاب والمعوذتين وقل هو الله أحد واجعلوا ذلك لأهل المقابر فإنه يصل إليهم وروى أيضا

“Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah al-Fatihah dan Al Mu’awwidzat (al-Falaq-an-Nas) dan al-Ikhlas, lalu jadikanlah untuk ahli kubur, maka akan sampai pada mereka”. (al-Arbain, 1/85, riwayatnya hasan dan dikutip pula oleh Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, Mathalib Ulin Nuha, h. / 935)

Lalu bagaimana dengan yang “dikabarkan” sebagai pendapat masyhur Imam Syafi’i (W. 204H) bahwa “bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat”

Berikut penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.

Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam Fathul Wahab menyampaikan penjelasan dari Imam An Nawawi :

“Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).

Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :

“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)

Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut

  1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadirnya mayyit),
  2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
  3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.

Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.

Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651 atau Syarh Shahih Muslim 2564)

Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : “ Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).

Dalam kitab al-Qira’ah Inda al-Qubur:

أخبرني روح بن الفرج، قال: سمعت الحسن بن الصباح الزعفراني، يقول: سألت الشافعي عن القراءة عند القبر فقال: لا بأس به

al-Hasan bin as-Shabbah az-Za’farani (w. 260 H) bertanya kepada Imam as-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di kuburan. Beliau menjawab: Iya, tidak apa-apa (Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Harun al-Khallal al-Baghdadi w. 311 H, al-Qiraah inda al-Qubur, h. 89)

Imam Syafi’i (W. 204H) dalam kitab Al Umm 1 / 322

وأحب لو قرئ عند القبر، ودعي للميت

Saya menyukai jika dibacakan al-Quran di kuburnya, dan juga didoakan.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Imam an-Nawawi (w. 676 H):

قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا

Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam al-Qur’an, maka itu lebih baik. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Riyadh as-Shalihin, h. 295)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830